Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 9]
Senin, 20 November 2017

Bismillah.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba dan utusan-Nya, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka.

Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, setelah membawakan dua buah ayat di awal mukadimah Kitab Tauhidnya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan ayat di dalam surat al-Israa’ yang berbunyi (yang artinya), “Dan Rabbmu telah memerintahkan bahwa hendaklah kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah berbuat baik.” (al-Israa’ : 23). Para ulama menjelaskan bahwa ayat ini berisi perintah yang paling agung yaitu tauhid, dimana Allah memerintahkan dan mewajibkan kita untuk bertauhid sebelum kewajiban-kewajiban yang lain. Dan hal ini juga menunjukkan betapa pentingnya tauhid.

Ayat ini juga mengandung pelajaran bahwa tauhid harus mencakup dua hal; beribadah kepada Allah semata dan menolak sesembahan selain-Nya. Inilah dua prinsip yang menjadi rukun kalimat tauhid laa ilaha illallah. Ungkapan laa ilaha mengandung sikap menolak sesembahan selain Allah, sedangkan ungkapan illallah mengandung sikap penetapan bahwa hanya Allah sesembahan yang benar. Allah berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah yang maha benar sedangkan segala sesuatu yang mereka seru/ibadahi selain-Nya adalah batil.” (al-Hajj : 62)

Inilah pokok dan intisari agama Islam yang telah dilalaikan atau dilupakan oleh banyak orang yang menisbatkan dirinya sebagai pemeluk Islam. Beribadah kepada Allah dan menjauhi syirik. Para ulama menjelaskan bahwa hakikat Islam itu adalah berserah diri kepada Allah dengan tauhid, tunduk kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya.

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Dua rukun laa ilaha illallah : Kalimat ini mengandung dua rukun/pilar. Rukun pertama adalah penafian/peniadaan, sedangkan rukun kedua adalah itsbat/penetapan. Yang dimaksud dengan penafian adalah penolakan ilahiyah/ketuhanan atau sesembahan selain Allah ta’ala dari seluruh makhluk yang ada. Dan yang dimaksud dengan istbat/penetapan adalah menetapkan ilahiyah/sesembahan yang benar hanya Allah subhanahu wa ta’ala. Dia lah satu-satunya sesembahan yang benar. Adapun segala sesembahan selain-Nya yang diangkat oleh orang-orang musyrik maka itu semua adalah batil.” Allah berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan sesungguhnya Allah semata yang maha benar dan sesungguhnya apa-apa yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (al-Hajj : 62) (lihat Ma’na laa ilaha illallah karya Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 11)   

Kewajiban Terbesar

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan firman Allah (yang artinya), “Dan Rabbmu telah menetapkan bahwa janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua    hendaklah berbuat baik…” (al-Israa’ : 23). Ayat ini menunjukkan tentang wajibnya mengesakan Allah dalam beribadah, dan inilah yang dimaksud dengan tauhid (lihat Al-Jadid fi Syarhi Kitabit Tauhid, hal. 24)

Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Hal ini menafsirkan tauhid, yaitu beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Inilah tauhid. Adapun beribadah kepada Allah namun tidak meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, maka ini tidak dinamakan sebagai tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya, karena itulah mereka menjadi kaum musyrik. Sehingga bukanlah yang terpenting orang beribadah kepada Allah itu saja. Akan tetapi ia harus beribadah kepada Allah dan juga meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak demikian, maka dia tidaklah menjadi orang yang benar-benar menghamba kepada Allah dan belum menjadi muwahhid/orang bertauhid.” (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/38)

Diantara faidah utama dari ayat tersebut ialah menunjukkan bahwa tauhid adalah kewajiban yang paling wajib dan hak Allah yang paling agung atas setiap hamba. Di dalamnya juga terkandung pelajaran, bahwa tauhid tidaklah tegak kecuali dengan nafi/menolak dan istbat/menetapkan; yaitu menolak sesembahan selain Allah dan menetapkan ibadah untuk Allah semata. Sehingga kandungan ayat di atas serupa dengan kandungan kalimat laa ilaha illallah. Selain itu, ayat ini juga menunjukkan keagungan hak kedua orang tua dan wajibnya berbuat baik kepada mereka. Sebagaimana ayat ini menunjukkan tidak bolehnya durhaka kepada kedua orang tua (lihat Al-Mulakhash fi Syarhi Kitabit Tauhid oleh Syaikh Al-Fauzan, hal. 14)

Adapun makna kata qadha/menetapkan yang ada di dalam ayat tersebut telah ditafsirkan oleh para ulama bahwa maknanya adalah memerintahkan dan mewasiatkan. Mujahid menafsirkan qadha dengan ‘mewasiatkan’, sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan qadha dengan ‘memerintahkan’ (lihat Fat-hul Majid oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan, hal. 20)

Tidak Cukup Bermodal Pengakuan

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata :

Orang munafik mengucapkan laa ilaha illallah sementara dia berada di kerak paling bawah dari neraka. Lalu bagaimana mungkin kalian mengatakan bahwa laa ilaha illallah sudah mencukupi dengan diucapkan semata.

Padahal orang-orang munafik itu berada di kerak paling bawah dari neraka, sedangkan mereka juga mengucapkan laa ilaha illallah?!

Maka hal ini menunjukkan bahwa sekedar mengucapkannya tidak cukup kecuali apabila disertai keyakinan di dalam hati dan diamalkan dengan anggota badan.

Sumber : Syarh Tafsir Kalimah at-Tauhid, hal. 15

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:

Demikian pula diantara fenomena kelemahan akidah di masa kita sekarang ini adalah tidak adanya perhatian banyak da’i terhadap perkara ini. Disana ada da’i-da’i yang mengajak/berdakwah kepada Islam, akan tetapi Islam yang seperti apa yang mereka serukan. Sementara mereka justru tidak mengajak kepada akidah.

Bisa jadi mereka berdakwah/mengajak orang kepada sholat, untuk bersikap jujur, menjaga amanah, dan amal-amal kebaikan yang lain. Akan tetapi akidah tidaklah terbersit dalam perhatian mereka. Bagaimana mungkin mereka menjadi da’i sedangkan mereka memiliki sifat/perilaku semacam ini?

Mereka bukanlah da’i kepada Islam dalam makna yang sejati. Sebab da’i yang mengajak kepada Islam senantiasa memperhatikan asas Islam, sumber dan pokok kekuatannya, yaitu akidah.

Sumber : http://www.assakina.com/mohadrat/16294.html

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:

Islam yang sahih pada masa sekarang ini adalah terasing. Adapun islam yang hanya sekedar pengakuan, maka lihatlah jumlah umat Islam sekarang ini. Jumlah mereka lebih dari 1 milyar. Meskipun demikian Islam yang sahih itu telah mengalami keterasingan. Karena seandainya jumlah 1 milyar umat ini berada di atas Islam yang sahih/jernih niscaya tidak ada seorang pun [umat manapun] di dunia ini yang berani menghadapi mereka!!

Lihatlah, orang-orang Yahudi -yang mereka itu adalah saudara dari kera-kera dan babi-babi- suatu kaum yang telah ditimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan [oleh Allah]. Bukankah saat ini mereka ‘menguasai’ berbagai negeri kaum muslimin.

Bandingkanlah dengan kaum muslimin yang bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Badar. Ketika itu jumlah mereka hanya sekitar tiga ratus belasan orang. Saksikanlah apa yang berhasil mereka lakukan?

Para sahabat dibandingkan dengan seluruh penduduk bumi; berapa jumlah mereka? Meskipun demikian [yaitu mereka sedikit, pent], mereka berhasil menaklukkan berbagai kota dan negeri. Mereka pun berhasil menundukkan Kisra dan Kaisar.

Mereka sanggup untuk memimpin seluruh dunia. Hal itu dikarenakan mereka berada di atas Islam yang sahih/jernih dan lurus, bukan Islam yang berhenti pada pengakuan belaka.

Sumber : Syarh Tafsir Kalimah at-Tauhid, hal. 32

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata :

Demikianlah sunnatullah yang tidak akan berubah. Bahwa umat ini tidak akan bangkit dari keterpurukan serta tidak akan bangun dari tidurnya kecuali dengan taufik dari Allah kemudian perjuangan keras para ulamanya yang ikhlas dan para da’inya yang tulus. Semoga Allah merahmati Imam Malik dimana beliau berkata, “Tidak akan memperbaiki generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang memperbaiki generasi awalnya.”

Tidaklah umat ini memiliki keunggulan di atas umat-umat yang lain kecuali apabila mereka menegakkan ishlah/perbaikan dan dakwah kepada agama Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada manusia, kalian memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang mungkar, dan kalian beriman kepada Allah.” Allah juga berfirman (yang artinya), “Hendaklah ada diantara kalian umat/sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf, dan melarang dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Sumber : I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/7

Pengertian Islam

Pengertian islam dalam makna umum adalah beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya semenjak Allah utus para rasul hingga datangnya hari kiamat. Hal ini menunjukkan bahwasanya semua ajaran nabi-nabi terdahulu adalah islam. Seperti yang dikisahkan mengenai doa Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabb kami, jadikanlah kami muslim/orang yang pasrah kepada-Mu, demikian pula keturunan kami menjadi umat yang muslim/pasrah kepada-Mu.” (al-Baqarah : 128). Adapun islam dalam makna khusus ialah ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ajaran beliau menghapus ajaran syari’at terdahulu. Dengan demikian seorang muslim -di masa kini- adalah orang yang mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa tidak mengikuti beliau maka bukan muslim (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 20)

Hendaknya mengenal agama Islam ini dilandasi dengan dalil, bukan semata-mata taklid atau ikut-ikutan. Hakikat islam itu sendiri adalah kepasrahan kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, dan membersihkan diri dari segala bentuk syirik. Islam disebut dengan islam/pasrah karena di dalamnya terkandung sikap pasrah dan tunduk kepada Allah, taat perintah-Nya, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah, hal. 12-13)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah menjamin bagi orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya; bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” (lihat Syarh Manzhumah Mimiyah, hal. 49)

Pentingnya Ilmu dalam Beragama

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan -untuk dikonsumsi- dalam sehari sekali atau dua kali saja. Adapun ilmu maka ia dibutuhkan -untuk dipahami, pent- sebanyak hembusan nafas.” (lihat Miftah Daris Sa’adah, 1/248-249)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun…” (lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)

Sebagian salaf berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah mengatakan, “Dengan ilmu itulah akan dikenali tauhid dan iman, dengan ilmu pula akan dimengerti pokok-pokok keimanan dan syari’at-syari’at Islam, dengan ilmu juga akan diketahui akhlak-akhlak yang luhur dan adab-adab yang sempurna, dan dengan ilmu itu pula manusia terbedakan satu dengan yang lainnya…” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 42)

Surga tidak akan bisa dimasuki dan diraih kecuali dengan bekal iman dan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Masuklah kalian ke dalam surga dengan apa-apa yang telah kalian amalkan.” (an-Nahl : 32). Dan tidak ada jalan untuk mengenali iman dan amal salih kecuali dengan ilmu yang bermanfaat (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam kitab beliau Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 65)

Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa ilmu adalah pondasi dalam hal ibadah. Karena sesungguhnya tidak ada ibadah dan tidak ada amal yang benar kecuali dengan dasar ilmu. Ilmu lebih didahulukan sebelum segala sesuatu. Karena ibadah tidak akan menjadi benar dan diterima kecuali apabila sesuai dengan tuntunan. Dan tidak ada jalan untuk mengenali tuntunan kecuali dengan ilmu. Yaitu ilmu yang benar. Dan apabila istilah ilmu disebutkan secara mutlak -tanpa batasan atau embel-embel tertentu, pent- di dalam kalam Allah dan kalam Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian juga dalam ucapan para ulama maka sesungguhnya yang dimaksud ialah ilmu syari’at. Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa semua dalil yang berisi keutamaan ilmu maka yang dimaksudkan adalah ilmu syari’at. Seperti dalam hadits, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu…” Maka ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syari’at (lihat Transkrip Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh beliau, hal. 6)

Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini, semoga bermanfaat bagi kita dalam memahami tauhid yang menjadi kewajiban kita selama hidup didunia. Semoga salawat dan salam tercurah kepada nabi kita Muhammad. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-9/